Sebagian orang ada yang beranggapan
bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak ada pengaruhnya
karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan
ceritera. Menurut anggapan mereka ilmu Asbabun Nuzul tidaklah akan
mempermudah bagi orang yang mau berkecimpung dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Anggapan tersebut adalah salah dan tidaklah patut didengar
karena tidak berdasarkan pendapat para ahli Al-Qur’an yang dikenal
dengan ahli tafsir.
Di sini akan diungkap secara
sekilas pendapat sebagian ulama dan kemudian akan disertakan beberapa
faedah tentang ilmu Asbabun Nuzul.
Al-Wahidy berpendapat: “menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu Daqiqil ‘Ied
berpendapat: “Keterangan tentang Asbabun Nuzul adalah merupakan
salahsatu jalan yang tepat dalam memahami Al-Qur’an.”
Bahkan Ibnu Taimiyah pun
berpendapat: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat,
karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat”.
Dengan demikian akan jelaslah
pentingnya ilmu Asbabun Nuzul sebagai bagian dari ilmu Al-Qur’an. Adapun
faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum.
2.
Menentukan hukum (takhshish) dengan sebab menurut orang yang
berpendapat bahwa suatu ibarat itu dinyatakan berdasarkan khususnya
sebab.
3. Menghindarkan prasangka yang mengatakan arti hashr dalam suatu ayat yang zhahirnya hashr.
4. Mengetahui siapa orangnya yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.
5. Dan lain-lain yang ada hubungannya dengan faedah ilmu Asbaun Nuzul.
Beberapa contoh tentang faedah ilmu Asbabun Nuzul.
Pertama: Marwan ibnul
Hakam sulit dalam memahami ayat: Janganlah sekali-kali kamu menyangka,
bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang mereka telah kerjakan
dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka
kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksaan.
(Ali Imrân: 188).
Beliau memerintahkan kepada
pembantunya: “Pergilah menemui Ibnu Abbas dan katakan kepadanya, bila
semua orang telah merasa puas dengan apa yang telah ada dan ingin dipuji
terhadap perbuatan yang belum terbukti hasilnya pasti ia akan disiksa
dan kamipun akan terkena siksa”. Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya
(pembantu), bahwa ia (Marwan) merasa kesulitan dalam memahami ayat
tersebut dan kemudian Ibnu Abbas menjelaskannya: “Ayat tersebut turun
sehubungan dengan persoalan Ahli Kitab (Yahudi) tatkala ditanya oleh
Nabi SAW, tentang sesuatu persoalan dimana mereka tidak menjawab
pertanyaan yang sebenarnya ditanyakan, mereka mengalihkan kepada
persoalan yang lain serta menganggap bahwa persoalan yang ditanyakan
oleh Nabi kepadanya telah terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian
kepada Nabi, maka turunlah ayat tersebut di atas. (HR. Bukhari Muslim).
Kedua: Urwah Ibnu Jubair
juga mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah.
Barangsiapa yang beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak
ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158).
Menurut
zhahir ayat dinyatakan bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah adalah tidak
wajib, bahkan sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah
r.a.: “Hai bibiku! sesungguhnya Allah telah berfirman: “tidak mengapa
baginya untuk melakukan sa’i antara keduanya”, karena itu saya
berpendapat bahwa “tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah
sekalipun tidak melakukan sa’i antara keduanya”. Aisyah seraya menjawab:
“Hai keponakanku! kata-katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya
sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah berfirman “tidak mengapa
kalau tidak melakukan sa’i antara keduanya”.
Setelah itu Aisyah menjelaskan:
bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan sa’i antara Shafa dan
Marwah sedang mereka dalam sa’inya mengunjungi dua patung yang bernama
Isaar yang berada di bukit Shafa dan Na’ilah yang berada di bukit
Marwah. Tatkala orang-orang masuk Islam diantara kalangan sahabat ada
yang merasa berkeberatan untuk melakukan sa’i antara keduanya karena
khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari
itu turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang
mengatakan) kalau-kalau tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi
mereka untuk melakukan sa’i karena Allah semata bukan karena berhala.
Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan sebab turun
ayat.
Ketiga: Sebagian Imam
mengalami kesulitan dalam memahami makna syarat dalam firman Allah SWT:
Dan perempuan-perempuan yang terhenti dari haid diantara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang) iddahnya maka iddah
mereka adalah 3 bulan. (Ath- Thalaq: 4).
Golongan zhahiriah berpendapat
bahwa Ayisah (wanita yang tidak lagi haid karena sudah lanjut usia)
mereka tidak perlu masa iddah bila keayisahannya tidak diragukan lagi.
Kesalahpahaman mereka nampak dengan berdasarkan Asbabun Nuzul, dimana
ayat tersebut adalah merupakan khitab (ketentuan) bagi orang yang tidak
mengetahui bagaimana seharusnya dalam masa iddah, serta mereka ragu
apakah mereka perlu iddah atau tidak. Dari itu maka makna “Inir tabtum”
(bila anda bingung tentang bagaimana mereka dan tidak mengerti tentang
iddah mereka, maka inilah undang-undangnya). Ayat turun setelah ada
sebagian shahabat yang mengatakan bahwa diantara iddah kaum wanita tidak
terdapat dalam Al-Qur’an; yaitu wanita yang masih kecil dan wanita yang
Ayisah. Setelah itu turunlah ayat yang menjelaskan ketentuan tentang
mereka. Wallâhu a’lam.
Keempat: Diantara contoh
tentang ilmu Asbabun Nuzul sebagai sanggahan terhadap dugaan hashr
(batasan tertentu) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi’i tentang
firman Allah SWT: Katakanlah! tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. (Al-An’âm: 145).
Dalam hal ini beliau
mengungkapkan yang maksudnya: bahwa orang kafir ketika mengharamkan
sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghala1kan apa yang diharamkan Allah
serta mereka terlalu berlebihan, maka turunlah ayat sebagai bantahan
terhadap mereka. Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman “Yang halal
hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu yang kamu anggap
halal”.
Dalam hal ini Allah tidak
bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas melainkan sekedar
menjelaskan ketentuan yang haram samasekali tidak menyinggung-nyinggung
yang halal.
Imam Al-Haramain berkata “uslub
ayat tersebut sangat indah. Kalau saja Imam Syafi’i tidak mengatakan
pendapat yang demikian niscaya kami tidak dapat menarik kesimpulan
perbedaan imam Malik dalam hal hashr/batasan hal yang diharamkan
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas”.
Sekedar penjelasan dari uraian
di atas saya berpendapat bahwa zhahir ayat menunjukkan batasan yang
haram, dimana yang haram adalah hanya yang tersebut dalam ayat di atas,
padahal persoalannya tidak demikian, karena di samping yang tersebut
pada ayat di atas masih ada lagi yang lain, hanya saja mengungkapannya
yang berbentuk hash sedang maknanya tidak demikian, yaitu sebagai
bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya dihalalkan Allah dan menghalalkan yang sebenamya diharamkan
Allah.
Kelima: Diantara faedah
Asbabun Nuzul adalah untuk mengetahui nama orang yang menjadi kasus
turunnya ayat agar keraguan dan kekaburan menjadi hilang, sebagaimana
Marwan menduga bahwa firman Allah SWT: Walladzii Qaala Liwaa lidaihi
Uffillakumaa, ialah diturunkan sehubungan dengan kasus Abdurrahman ibnu
Abi Bakar. Aisyah membantah bahwa anggapan tersebut adalah salah, ia
menjelaskan kepada Marwan tentang sebab turunnya. Adapun secara lengkap
kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Bukhari sebagai berikut:
“Marwan adalah seorang amil
(Gubernur) wilayah Madinah. Muawiyah menginginkan agar Yazid menjadi
khalifah setelah kemangkatannya. Ia menulis surat kepada Marwan tentang
persoalannya. Karenanya Marwan mengumpulkan rakyat dan berpidato di
hadapan mereka. Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid (memfigurkan).
Dalil ia menyeru untuk membaiatnya sambil berkata: “Sesungguhnya Amirul
Mukminin telah diperlihatkan oleh Allah tentang pendapat yang baik
dalam diri Yazid. Bila Amirul Mu’minin mengangkatnya sebagai khalifah,
sungguh Abu Bakar dan Umar pun telah menjadi khalifah”.
Abdurrahman menjawab: “Bukankah
sistim yang demikian itu merupakan Herakliusisme?” (Maksudnya itu adalah
kediktatoran seorang raja sebagaimana tindakan raja-raja Romawi).
Marwan menjawab: Itu sama dengan sunah Abu Bakar dan Umar. Abdurrahman
menjawab lagi “Herakliusisme”. Abu Bakar dan Umar tidak mengangkat
keturunan atau familinya sedangkan Muawiyah bertindak semata-mata untuk
kehormatan anaknya seraya Marwan berkata “Tangkaplah ia Abdurrahman”.
Abdurrahman masuk ke rumah Aisyah, karena itu pengejar-pengejarnya tidak
dapat menangkapnya. Setelah itu Marwan mengatakan “Dialah orang yang
menjadi kasus sehingga Allah menurunkan ayat: Dan orang yang berkata
kepada kedua ibu bapaknya cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya
memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan padahal sungguh
telah berlalu beberapa umat sebelumku?(Al-Ahgat ayat 17)
Dari balik tabir Aisyah menjawab
“Allah tidak pernah menurunkan ayat Al-Qur’an tentang kasus seseorang
tertentu di antara kita kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan
berbuat jahat, andaikata aku mau menjelaskan orang yang menjadi kasus
turunya ayat tesebut niscaya akan kujelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar